Udara bersih untuk lingkungan hidup yang berkelanjutan “Stop Karhutla”

Kebakaran lahan dan hutan yang terja diakhir-akhir ini dibeberapa wilayah Indonesia khususnya Sumatera Selatan telah menjadi perhatian serius baik nasional maupun internasional. Dampak kebakaran yang sangat dirasakan masyarakat berupa kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti tegakan pohon hutan yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan bangunan, bahan makanan, dan obat-obatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani dan rekreasi. Kebakaran lahan dan hutan juga menimbulkan kerugian ekologis karena menyebabkan lenyapnya puluhan ribu hektar kehutan, tidak tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.

Dampak global dari kebakaran hutan dan lahan yang langsung dirasakan adalah pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan mengakibatkan gangguan pernapasan dan  mengganggu aktifitas sehari-hari. Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia menghasilkan asap yang juga dirasakan oleh Negara tetangga seperti Malaysia. Menurut Fribertson Parulian Samosir Kadiv LBH Palembang, berdasarkan data yang diperoleh dari setiap tahun, jumlah titk kebakaran hutan yang terjadi berulang di spot yang sama di Sumatera Selatan sebagian besar disebabkan oleh aktivitas perusahaan perkebunan, kebakaran sering terjadi dilahan-lahan konsesi perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK), pemerintah melalui KLHK hanya memikirkan Kontribusi dalam mengoptimalkan Sektor Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap PDB Nasional,Nilai Ekspor Hasil Hutan, TSL dan Bioprospecting, dan Peningkatan Nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Fungsional KLHK tanpa memikirkan daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup yang berkelanjutan, bencana asap yang masyarakat Sumetera Selatan rasakan saat ini merupakan bukti buruknya pengawasan terhadap tata kelola, Inovasi maupun pengelolaan Sumberdaya Hutan dan lingkungan yang dilakukan pemerintah. Selain itu, tidak adanya review dan audit perizinan terutama pada lahan gambut yang selama ini terjadi proses pengeringan oleh konsesi perusahan tersebut juga turut menjadi salah satu faktor utama penyebab bencana ini terjadi. Pada

intinya Kasus kebakaran hutan yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan masalah struktural pengelolaan sumber daya alam.

Penanggulangan kebakaran yang dilakukan pemerintahhanya sebatas teknis pencegahan dan pemadaman kebakaran, hal ini dilakukan sebatas untuk menyelamatkan dan meminimalisir dampak lingkungan yang akan terjadi. Akan tetapi Ini menunjukkan bahwa Pemerintah belum mempunyai kebijakan jangka panjang untuk menangani kebakaran yang hampir setiap tahun terjadi. LBH Palembang menganggap perlu pendekatan  secara progresif pada level kebijakan dan kelembagaan sehingga permasalahan bencana ini tidak berulang kembali setiap tahunnya.

Berdasarkan data Walhi Sumsel menyebutkan bahwa dari total 8,3 juta ha luas Sumsel, sebanyak 3,3 juta ha dikuasai oleh perusahaan skala besar (baik perkebunan, HTI, maupun pertambangan). Penguasaan lahan oleh korporasi dengan prinsip kapitalisme lahan, maka keuntungan secara maksimal adalah sasaran utama. Hasil investigasi WALHI Sumsel juga menunjukkan bahwa terjadinya karhutla di Sumsel disumbang besar oleh aktifitas perusahaan-perusahaan besar ini. Terbukti kemudian di tahun 2023 ini, KLHK telah melakukan penyegelan terhadap 11 perusahaan yang terindikasi terlibat dalam karhutla, baik karena sengaja membakar, lalai, ataupun pembiaran pada lahan yang terbakar. Sejatinya, masing-masing perusahaan harus bisa menjamin bahwa lahan yang dikelolanya aman dan zero karhutla, walaupun el nino melanda.

Bencana ekologis karhutla yang kemudian berimbas pada kabut asap di Sumsel, bukanlah terjadi saat kemarau belaka. Catatan dari berbagai data menunjukan bahwa setiap tahun selalu ada kebakaran. Perbedaan dengan musim kemarau hanya soal intensitas luasan. Cuaca panas dan kemarau tentu berpengaruh besar, tetapi tidak berarti ketika el nino tidak ada, maka karhutla berhenti. Sejak 1997-saat ini, kebakaran selalu terjadi setiap tahun. Perkembangan hotspot dan luas kebakaran pada tahun 1997-2019 di Sumatera Selatan, memuncak pada tahun 2019 dengan 5,263 fire hotspot dengan kebakaran Kawasan hutan dan lahan luas 361,857 ha. Tahun 2020, 2021, 2022 dan mencapai puncaknya kembali di 2023. Kebakaran hutan dan lahan ini adalah lokasi yang sama dan berulang setiap tahunnya.

Tabel 1. Titik Hotspot pada Wilayah Operasional Korporasi (WALHI Sumsel 2023)

Hasil monitoring WALHI Sumatera Selatan pada tahun 2021 terhadap implementasi komitmen restorasi gambut yang dilakukan 6 perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir yaitu; PT. Waringin Agro Jaya (WAJ), PT. Gading Cempaka Graha (GAG), PT. Sampoerna Agro Tbk (SA), PT. Kelantan Sakti (KS), PT. Rambang Agro Jaya (RAJ), dan PT. Tempirai Palm Resources (TPR). Terdapat beberapa komitmen perusahaan tidak dijalankan untuk merestorasi lahan gambut agar tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan;

  1. Tidak ada bangunan sekat kanal yang dibangun PT WAJ di 15 titik sampel yang di monitoring.
  2. PT GCG dari 5 titik sampel monitoring hanya ada 2 sekat kanal yang dibangun itu pun dalam kondisi buruk.
  3. PT SA dari 7 titik sampel monitoring tidak ada sekat kanal yang ditemukan/dibangun.
  4. PT KS dari 4 titik sampel monitoring tidak ada sekat kanal yang ditemukan/dibangun.
  5. PT RAJ dari 4 titik sampel monitoring hanya ada 2 sekat kanal yang dibangun.
  6. PT TPR dari 9 titik sampel monitoring tidak ada sekat kanal yang ditemukan/dibangun. Terbukti 2023 ke enam Perusahaan itu terbakar dan di segel KLHK.

Gambar 2. Direktur Jenderal  Gakkum LHK, Rasio Ridho Sani memasang segel di lahan milik PT Sampurna Agro – Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Rabu (4/10/2023).

Table 2. Perusahaan yang di segel oleh KLHK

Menurut data dari BMKG sumsel pertanggal 24 Oktober 20234 :

Berdasarkan hasil pemantauan SiPongi MenLHK Karhutla Monitoring Sistem, titik panas dengan tingkat kepercayaan tinggi di wilayah Sumatera Selatan sebagai berikut:

Kab. Banyuasin: 197 titik panas, Kab. Empat Lawang: 3 titik panas, Kota Palembang: 2 titik panas, Kab. Lahat: 27 titik panas, Kab. Muara Enim: 57 titik panas Kab. Musi Banyuasin: 154 titik panas, Kab. Musi Rawas: 45 titik panas, Kab. Musi Rawas Utara: 54 titik panas, Kab. Ogan Ilir: 112 titik panas, Kab. OKI: 1668 titik panas, Kab. OKU: 19 titik panas, Kab. OKU Selatan: 2 titik panas, Kab. OKU Timur: 48 titik panas, Kab. PALI: 34 titik panas5

Bersamaan dengan itu, karhutla yang terjadi mempengaruhi indeks pencemaran udara di Palembang. Pada tanggal 24 Oktober 2023, indeks kualitas udara (AQI) dengan particulate matter (PM) 2,5, Kota Palembang sendiri saat ini tembus di angka 17.8 dimana masuk level udara Tidak Sehat. Hal tersebut berdampak pada terjadinya penurunan kualitas kesehatan masyarakat di Kota Palembang.

Dengan pertimbangan urgensi permasalahan yang terjadi atas bencana asap akibat karhutla 2023, maka LBH Palembang mendesak pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sumatera Selatan untuk:

  1. Melakukan proses penegakan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan menindak tegas dengan cara mencabut ijin bagi perusahaan-perusahaan yang terbukti areal konsesinya terbakar
  2. Melakukan penguatan regulasi dan kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup dipusat dan daerah,
  3. Melakukan Penguatan system perizinan, pengawasan, dan pengamanan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup
  4. Menuntut mendirikan posko pencegahan dan penanggulangan penyakit yang diakibatkan oleh kabut asap secara gratis di wilayah Sumatera Selatan.

Narahubung

  1. Meirlan dwiyansah, LBH Palembang (0895-2450-1010)

Fribertson Parulian Samosir, LBH Palembang (081291150668)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *